Selasa, 04 Juni 2013

Ikan Uceng di Warung Barokah Pak Sabar

Uceng merupakan salah satu jenis ikan yang hidup di air tawar, atau lebih tepatnya berada di kali (sungai) yang alirannya tidak terlalu besar. Mungkin sebagian besar orang belum terlalu mengenal uceng (ikan uceng), karena tidak semua sungai yang ada di daerah menjadi habitat uceng. Saya sendiri pertama kali mengenal ikan uceng ketika mampir di Warung Barokah Pak Sabar, meskipun Saya asli Blitar. Lokasi warung ini berada di Jl. Semeru No. 24, Babadan, Wlingi, Blitar. Kalau dari Pasar Wlingi, ambil arah ke Utara menuju jalan ke Wisata Rambut Monte atau Bendungan Selorejo, warungnya ada di Sebelah kanan jalan.



Waktu itu, Saya bersama tim wisatakuliner.com baru saja pulang dari Wisata Rambut Monte menuju Malang dengan melewati jalur selatan. Kami tiba di warung Pak Sabar sekitar jam 11 siang, cuacanya agak mendung, warungnya cukup besar, mungkin mampu menampung lebih dari 50 pengunjung. Ada cukup banyak menu yang ditawarkan, ada sayur uceng, lele masak, kare ayam, ayam penyet, lele penyet, ayam panggang, rawon dan nasi campur yang lauknya bisa kita pilih sendiri. Tapi, dari sekian banyak menu yang ada, yang paling dicari yaitu olahan ucengnya (uceng goreng).

Sebenanya kami berniat untuk menikmati uceng goreng, tapi keberuntungan sedang tidak berpihak kepada kami. Secara kebetulan, pada hari itu tidak ada uceng sama sekali di kali belakang, pada hal biasanya setiap hari menu uceng goreng selalu tersedia, itulah keterangan yang Saya terima. Namun kekecewaan kami terobati dengan menu olahan uceng. Saking penasarannya dengan uceng, semua menu olahan uceng sampai kami pesan semua, mulai dari sayur uceng, rempeyek uceng (meski ada ikan wader di dalamnya yang lebih dominan) dan juga bothok uceng.

Mungkin Anda akan bertanya-tanya, seperti apa uceng itu? Jawabannya sangat mudah, Anda pasti sudah tahu ikan lele dengan jelaskan? Nah, uceng itu bentuknya mirip dengan lele, sama-sama memiliki sungut, tapi ukurannya lebih kecil dan kepalanya lebih pipih dan sempit. Meski belum bisa merasakan uceng goreng, tapi Saya sudah cukup puas menikmati uceng yang dimasak kuah santan. Dagingnya memang cukup sedikit, tapi keset dan gurih, bumbunya meresap ke dalam dan agak pedas. Sedangkan untuk bothoknya, uceng yang digunakan berukuran jauh lebih kecil. Mungkin lebih kecil dari jari telunjuk, meski kecil tapi rasanya gurih-gurih pedas dalam balutan kelapa halus.

Setelah selesai menikmati ucengnya, jangan lupa untuk mencicipi juga tape ketan hijaunya yang manis sebagai penawar rasa pedas. Makanan di pedesaan memang jauh berbeda dengan masakan kota, baik dari segi rasa maupun harga. Kalau untuk rasa, benar-benar khas yang sulit ditemukan di daerah perkotaan. Sedangkan untuk harga benar-benar miring, untuk sayur ucengnya biasa dibandrol 5ribu rupiah untuk seporsi, tapi karena kami minta sedikit, jadi cuma kena 3ribu saja. Untuk pepes 1.500 per bungkus, dan yang membuat kami cukup tercengang dan keheranan harga tape ketan hijaunya, cuma 5ratus rupiah saja. Kalau diperkotaan, uang 5ratus tidak ada artinya, ongkos parkir saja minimal seribu rupiah.

Sebelum masuk ke dalam warung, tepat di sebelah pintu masuk ada yang jual rujak cingur yang menggoda. Tak luput dari pandangan kami, rujak cingur juga masuk ke dalam menu makan siang kami kali ini. selain rasanya yang enak, harganya juga murah, hanya 5ribu rupiah untuk satu porsi. Karena terlalu sibuk mencicipi berbagai menu yang ada, kami sampai tidak sadar kalau ruangannya sudah dipenuhi pengunjung, di luar hujan juga mengguyur. Setelah hujan cukup reda, akhirnya perjalanan kami lanjutkan kembali.


Artikel Terkait:

0 komentar:

Posting Komentar